Palembang — Bupati nonaktif Muara Enim Ahmad Yani dituntut tujuh tahun penjara atas kasus dugaan suap proyek senilai Rp130 miliar pada sidang virtual yang diselenggarakan online oleh Pengadilan Tipikor Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (21/4).

Selain tuntutan pidana penjara, Yani pun dituntut denda Rp300 juta subsider enam bulan penjara dan wajib mengembalikan kerugian negara senilai Rp3,1 miliar. Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menuntut agar hak politik Yani dicabut.

“Terdakwa telah menyalahgunakan wewenang yang ada sebagai kepala daerah. Jadi hak politik yang dicabut adalah wewenang untuk dipilih atau maju kembali. Sedangkan untuk memilih tetap bisa,” ujar JPU KPK Roy Riyadi.

Ia mengatakan tuntutan terhadap Ahmad Yani dijatuhkan berdasarkan pasal 12 huruf a UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dan pasal 55 ayat 1 junto pasal 64 ayat 1.

“Dengan tuntutan penjara tujuh tahun dan denda sebesar Rp300 juta subsider 6 bulan serta membayar kerugian negara Rp3,1 miliar. Kalau terdakwa tidak membayar akan disita melalui aset dan jika aset tidak mencukupi maka masa tahanan terdakwa ditambah satu tahun,” ujar Roy.

JPU menganggap Ahmad Yani tidak kooperatif selama persidangan. Setiap dakwaan yang dilayangkan jaksa komisi antirasuah tersebut selalu dibantah.

Seluruh fakta persidangan yang telah dipaparkan pun selalu dibantah terdakwa. Padahal fakta-fakta tersebut telah dikonfirmasi oleh terdakwa dan saksi lain dalam persidangan.

“Bantahan yang dilakukan terdakwa memberatkan tuntutan yang diberikan karena tidak terbuka dalam membantu negara mengungkap kasus korupsi yang terjadi,” tambah Roy.

Terdakwa Ahmad Yani terbukti merestui pengerjaan 16 proyek jalan di Kabupaten Muara Enim yang berasal dari dana aspirasi DPRD Kabupaten Muara Enim dari APBD 2019. Proyek tersebut dikerjakan oleh Robi Okta Fahlevi sebagai Direktur Utama PT Indo Paser Beton.

Kemudian mantan anggota DPRD Sumsel tersebut sengaja meminta kepada Dinas PUPR Kabupaten Muara Enim untuk mencari kontraktor yang bersedia memberikan fee proyek sebesar 15 persen di awal pengerjaan.

Yani pun menerima suap Rp3,1 miliar yang diterimanya atas fee 10 persen di awal. Selain itu, Yani menerima sebidang tanah di Muara Enim seharga Rp1,25 miliar dan dua mobil yakni SUV Lexus dan Tata Xenon HD.

Dari fakta persidangan, terbukti Yani membagikan uang suap tersebut ke beberapa pihak. Diantaranya, Wakil Bupati Muara Enim yang saat ini menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Juarsah, Ketua DPRD Muara Enim Aries HB, PPK dan pejabat Pokja Dinas PUPR Muara Enim.

Sementara itu, Ketua Majelis Hakim Erma Suharti menunda sidang hingga pekan depan. Majelis hakim akan mempelajari hasil tuntutan jaksa penuntut yang baru dibacakan.

“Saudara terdakwa dapat melakukan pembelaan pada sidang pekan depan,” ujar dia.

Dalam kasus ini, penyuap Ahmad Yani yakni Direktur Utama PT Indo Paser Beton Robi Okta Fahlevi telah divonis pengadilan dengan hukuman tiga tahun pidana penjara dan denda Rp250 juta subsider 6 bulan penjara.

Robi diketahui memberikan uang kepada Ahmad Yani melalui Kabid Pembangunan Jalan dan Jembatan PUPR Muara Enim Elfin Muchtar. Elfin Muchtar pun menjabat sebagai PPK di Dinas PUPR Muara Enim.

Sebesar 10 persen diterima oleh Ahmad Yani sementara 5 persen lainnya dibagikan untuk jatah Elfin, Ramlan Suryadi yang menjabat Plt Kadis PUPR Muara Enim, Ilham Sudiono selaku Ketua Pokja IV, dan Ketua DPRD Muara Enim Aries HB.

Robi secara bertahap memberikan suap kepada Ahmad Yani dan kroninya melalui Elfin Muchtar. Robi pun turut terciduk dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar KPK pada 2 Agustus 2019 lalu bersama Elfin Muchtar. Dari tangan Robi disita uang US$35 ribu yang hendak diberikan kepada Ahmad Yani melalui Elfin.

Sementara Elfin Muchtar dituntut dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp. 200 juta subsider enam bulan pada sidang pekan lalu.

 

sumber: cnnindonesia.com