Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 130/PUU-XIII/2015 di gedung Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait pasal-pasal prapenuntutan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dari lima pasal yang diuji, MK hanya mengabulkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) wajib diserahkan penyidik kepada para pihak paling lambat 7 hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan.
“Menyatakan Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,”
Sebelumnya, Pasal 109 ayat (1) KUHAP berbunyi “dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupkan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.”
MK menyebutkan bahwa waktu paling lambat 7 hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan atau menyelesaikan SPDP sebelum disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Menurut Mahkamah kendala proses prapenuntutan yang sering ditemui adalah penyidik tidak memberikan SPDP ataupun mengembalikan berkas secara tepat waktu.
Hal tersebut jelas berimplikasi kerugian bagi terlapor dan korban/pelapor. Sebab, hak-hak terlapor menjadi tidak pasti dikarenakan mekanisme yang tidak tegas dan jelas. Hal ini berimbas tidak adanya kepastian hukum terhadap sebuah perkara tindak pidana yang merugikan terlapor dan korban/pelapor yang juga tidak sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
“MK melihat adanya keterlambatan mengirimkan SPDP dari penyidik kepada jaksa penuntut umum dan tidak adanya batasan yang jelas kapan pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan itu menyebabkan tidak adanya kepastian hukum terkait penanganan perkara tersebut,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah.
Menurut Mahkamah, penyampaian SPDP kepada jaksa penuntut umum adalah kewajiban penyidik untuk menyampaikannya sejak dimulainya proses penyidikan, sehingga proses penyidikan tersebut berada dalam pengendalian penuntut umum danpemantauan terlapor dan korban/pelapor.
Faktanya, yang terjadi selama ini kadangkala SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama. Adanya alasan tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurutnya hal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law sepertidijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mahkamah berpendapat, tertundanya penyampaian SPDP oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum bukan saja menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga merugikan hak konstitusional terlapor dan korban/pelapor.Karena itu,terpenting bagi MK menyatakan pemberian SPDP tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum, tetapi juga diwajibkan terhadap pelapor dan korban/pelapor.
Alasan Mahkamah didasarkan pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan dapat menunjuk penasihat hukumnya. Sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembalian penyidikan atas laporannya.
Atas dasar itu, menurut Mahkamah, dalil permohonan yang diajukan para pemohon bahwa SPDP tersebut bersifat wajib beralasan menurut hukum. Sifat wajib tersebut bukan hanya dalam kaitannya dengan jaksa penuntut umum, akan tetapi juga dalam kaitannya dengan terlapor dan korban/pelapor.