Sektor pengadaan barang dan jasa merupakan wilayah yang rentan dikorupsi sepanjang 2017. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat tahun 2017 sudah ada 84 kasus yang diproses hukum dengan kerugian negara mencapai Rp 1,02 Triliun.
“Sektor pelayanan publik sangat rentan untuk dikorupsi dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Sepanjang tahun 2017 sedikitnya ada sekitar 84 kasus korupsi yang diproses oleh aparat penegak hukum (APH) pada sektor pelayanan publik dengan total nilai kerugian negara sebesar Rp 1,02 triliun,” kata Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah di kantor ICW, Jl Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Minggu (25/2/2018).
Wana mengatakan sektor lain yang dikorupsi adalah transportasi dengan jumlah 46 kasus dan nilai kerugian negara sebesar Rp 912 miliar, pendidikan sebanyak 25 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 61,1 miliar, dan kesehatan sebesar 18 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 51 miliar.
ICW juga mencatat sepanjang 2017, ada 576 kasus korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum dengan total kerugian negara mencapai Rp 6,5 miliar dan suap Rp 211 miliar. Wana mengatakan jumlah tersangka pada 2017 mencapai 1.298 orang, jika dibandingkan pada 2016 penanganan korupsi ini mengalami peningkatan khususnya pada aspek kerugian negara dan jumlah tersangka.
“Pada tahun 2016, kerugian negara dalam 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun dan naik menjadi Rp 6,5 triliun pada tahun 2017 ini. Hal ini disebabkan karena adanya kasus dengan kerugian negara yang besar yang ditangani oleh KPK (kasus KTP elektronik), Kepolisian (kasus TPPI) dan Kejaksaan (kasus pemberian kredit oleh PT PANN),” kata Wana.
Tidak hanya dalam dalam aspek kerugian negara, lanjutnya, aspek tersangka juga mengalami peningkatan signifikan. Tahun 2016, terdapat 1.101 tersangka kasus korupsi dan naik menjadi 1.298 tersangka tahun 2017.
“Kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi juga ikut andil berkontribusi terhadap peningkatan jumlah tersangka,” sambungnya.
Wana menjelaskan modus korupsi terbanyak pada 2017 adalah penyalahgunaan anggaran dengan jumlah 154 kasus, dengan kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun. Kemudian disusul dengan penggelembungan harga (mark up) 77 kasus dan pungli 71 kasus. Sementara itu modus terkait dengan suap dan gratifikasi sebanyak 44 kasus dengan total nilai suap mencapai 211 kasus.
Dia mengatakan anggaran desa merupakan sektor yang paling banyak dikorupsi dengan 98 kasus, dan kerugian negara mencapai Rp 39,3 miliar. Selanjutnya, sektor pemerintahan 55 kasus dengan kerugian negara Rp 255 miliar dan sektor pendidikan 53 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp 81,8 miliar.
“Lembaga terbanyak tempat terjadi korupsi adalah pemerintah kabupaten dengan kasus sebanyak 222 dengan kerugian negara Rp 1,17 triliun. Tempat kedua adalah pemerintah desa sebanyak 106 kasus dengan kerugian negara Rp 33,6 miliar. Dan ketiga adalah pemerintah kota dengan jumlah kasus 45 dengan kerugian negara Rp 159 miliar,” kata Wana.
Dia menambahkan Jawa Timur menjadi provisi dengan kasus korupsi terbanyak pada 2017. Menurut catatan ICW, ada 68 kasus dengan kerugian negara senilai Rp 90,2 miliar.
Peringkat selanjutnya disusul dengan Jawa Barat (Jabar) dengan 42 kasus, dan Sumatera Utara 40 kasus. Meski begitu, dari nilai kerugian negara, Jawa Barat penyumbang terbanyak dibanding Jawa Timur.
“Meski Jatim menempati urutan pertama dalam jumlah kasus, dan Jabar dari aspek kerugian negara provinsi kalah dibandingkan dengan provinsi Sumut dan Jabar yang memiliki kerugian negara mencapai Rp 647 miliar dan 286 miliar. Namun demikian, kasus yang terjadi pada tingkat nasional memiliki magnitude kerugian negara yang besar meski kasusnya sedikit yakni mencapai Rp 3,3 triliun,” terangnya.
Tren Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Mengalami Peningkatan
Wana menambahkan pengadaan barang dan jasa rentan dikorupsi ketika proses lelang. ICW mencatat masih ada lembaga yang belum tertib melaporkan pengadaan barang dan jasa pada situs monev.lkpp.go.id.
“Berdasarkan situs ini, belanja barang dan jasa pemerintah tahun 2017 Rp 994 triliiun. Namun yang diumumkan di RUP hanya Rp 908,7 triliun. Jadi, ada sekitar Rp 86 triliun lebih anggaran belanja barang dan jasa tidak diumumkan pada publik,” terangnya.
Wana kemudian menyoroti sejumlah kementerian/lembaga yang tidak tertib melaporkan pengumuman lelang kepada publik. Padahal jika tidak transparan, maka pengadaan ini berpotensi dikorupsi.
“Salah satu Kementrian/Lembaga yang tidak mengumumkan sebagian lelang pada publik adalah Kementrian Keuangan (Rp 18 triliun), Kemenkes (Rp 6 triliun), Pemprov DKI Jakarta (Rp 5 Triliun) dan K/L serta Pemda lainnya,” ujarnya.
“Sementara itu, Kemendikbud, Kemen PUPR, dan KKP total anggaran tidak dibuka pada publik sehingga tidak bisa dihitung berapa anggaran belanja barang dan jasa yang tidak diumumkan pada publik. Anggaran belanja barang dan jasa yang tidak diumumkan pada publik berpotensi dikorupsi karena tidak transparan,” imbuhnya.
Modus yang digunakan terkait korupsi pengadaan barang dan jasa ini adalah penyalahgunaan anggaran (67 kasus), mark up (60 kasus), kegiatan/proyek fiktif (33 kasus). Kemudian pada sektor yang dikorupsi, pelayanan publik menjadi sektor yang rawan untuk dikorupsi.
“Salah satu penyebabnya diduga karena setiap tahun K/L/D/I menganggarkan barang yang belum tentu habis nilai ekonomisnya dan belum tentu sesuai kebutuhan, seperti kursi, meja, komputer dan lain sebagainya. Hal ini yang menjadi celah terjadinya praktik korupsi,” imbuhnya.
ICW menyoroti tak hanya korporasi yang terlibat dalam perkara korupsi ini, tapi juga kepala daerah. ICW kemudian memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Pemerintah bersama dengan LKPP perlu mengoptimalkan penggunaan e-catalog, e- purchasing untuk meminimalisir terjadinya potensi korupsi mulai dari tahap perencanaan. Pemerintah perlu juga untuk melaksanakan open contracting agar masyarakat dapat memantau setiap pengadaan yang dilaksanakan.
2. Setiap K/L/D/I harus mematuhi rekomendasi yang dikeluarkan oleh LKPP bila ditemukan adanya potensi pelanggaran atau kerugian negara yang ditimbulkan terkait dengan PBJ.
3. Institusi penegak hukum perlu menerapkan pengenaan pasal pencucian uang bagi korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi agar aset yang dimiliki dapat dirampas dan dikembalikan ke negara.
sumber: detik.com