Jakarta – KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi (backbone coastal surveillance system) pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI tahun 2016. KPK menyebut indikasi kerugian negara sebesar Rp 54 miliar terkait kasus ini.

“Telah ditemukan bukti permulaan yang cukup dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi (backbone coastal surveillance system/BCSS) pada Bakamla RI tahun 2016,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu (31/7/2019).

Ketiga tersangka yang diproses KPK adalah:

1. Ketua Unit Layanan dan Pengadaan, LM (Leni Marlena)

2. Anggota Unit Layanan Pengadaan BCSS, Juli Amar Ma’ruf (JAM)

3. Direktur Utama PT CMI Teknologi (CMIT), Rahardjo Pratjihno (RJP) selaku rekanan BCSS Bakamla.

Alexander mengatakan kasus ini berawal pada 2016 saat Bambang Udoyo selaku Direktur Data Informasi diangkat menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK) kegiatan peningkatan pengelolaan informasi, hukum, dan kerja sama keamanan dan keselamatan laut, serta Leni dan Juki diangkat menjadi Ketua dan Anggota ULP di Bakamla.

Pada tahun yang sama, kata Alexander, ada usulan anggaran pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) senilai Rp 400 miliar yang bersumber dari APBN-P 2016.

“Pada awalnya anggaran untuk pengadaan BCSS yang terintegrasi dengan BIIS belum dapat digunakan walaupun demikian ULP Bakamla RI tetap memulai proses lelang tanpa menunggu persetujuan anggaran dari Kementerian Keuangan,” ujar Alexander.

Pada Agustus 2016, ULP Bakamla mengumumkan lelang BCSS dengan pagu anggaran Rp 400 miliar dan nilai total HPS sebesar Rp 399,8 miliar. PT CMIT kemudian dinyatakan sebagai pemenang lelang pada September 2016.

Alexander menyebut terjadi pemotongan anggaran oleh Kemenkeu pada Oktober 2016. Meski anggaran yang ditetapkan oleh Kemenkeu untuk pengadaan ini kurang dari nilai HPS pengadaan, ULP Bakamla tidak melakukan lelang ulang.

“Akan tetapi dilakukan negosiasi dalam bentuk design review meeting (DRM) antara pihak Bakamla dan PT CMIT terkait dengan pemotongan anggaran untuk pengadaan tersebut,” jelasnya.

Pada 18 Oktober 2016, Bambang Udoyo selaku PPK dan Rahardjo selaku Dirut PT CMIT meneken kontrak dengan nilai Rp 170,57 miliar. Kontrak itu disebut bersumber dari APBN-P 2016 dan berbentuk lump sum.

Dia menyebut kerugian negara diduga terjadi karena mark up harga. KPK, kata Alexander, bakal berupaya mengembalikan kerugian negara, termasuk lewat pengembangan dengan menjerat korporasi.

“Ini dari kontrak Rp 170 miliar ada kerugian diperkirakan Rp 54 miliar. Modusnya mungkin mark up, meninggikan harga. Ini sesuatu yang lazim terjadi dalam pengadaan barang dan jasa. Bagaimana KPK atau POM AL mengembalikan kerugian negara? Ini kan yang menikmati kerugian negara kemungkinan besar adalah korporasinya. Maka korporasi yang nanti kita tuntut untuk mengembalikan kerugian negara itu. Mungkin dengan mentersangkakan korporasinya,” ujar Alexander.

Leni dan Juli dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU 31/1999 junctoPasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan Rahardjo dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 UU 31/1999.

Selain ketiga tersangka itu, sebenarnya ada seorang tersangka lain yang ditetapkan dalam perkara ini, yaitu Bambang Udoyo. Namun perkara dengan tersangka Bambang ditangani oleh POM AL karena Bambang merupakan militer aktif saat diduga melakukan tindakan korupsi dalam kasus ini.

Bambang sendiri sudah divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus suap pengadaan satellite monitoring di Bakamla.

“Orang yang sudah pensiun kenapa Polisi Militer masih mempunyai hak untuk menyidik? Dalam Pasal 9 UU 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Polisi Militer berwenang menyidik anggota TNI yang pada saat melakukan tindak pidana masih berstatus militer. Jadi walaupun dia sudah pensiun kita masih punya hak untuk memeriksa,” kata Dirbingakkum Puspomal Kolonel Laut (PM) Totok Safaryanto.

 

sumber: detik.com