Kejaksaan Agung (Kejagung) menginginkan adanya kolaborasi dengan lembaga penegak hukum lainnya yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri untuk mengusut satu tindak pidana korupsi besar.

“Kami juga lakukan koordinasi dan kerja sama dengan penegak hukum lain. Kalau mungkin, kita kolaborasi tangani satu perkara,” kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dalam konferensi per Capaian Kinerja Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2017 di Kejagung, Jakarta, Selasa (9/1).

Untuk mengusut tindak pidana korupsi, lanjut Prasetyo, saat ini ada tiga lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan pengusutan yakni Kejagung, Polri, dan KPK. Masing-masing lembaga penegak hukum ini terus melakukan berbagai pencegahan dan penindakan korupsi.

Dalam penindakan tindak pidana korupsi, lanjut Prasetyo, KPK mempunyai kewenangan yang sangat besar. Namun demikian, lembaga antirasuah terkendala jumlah sumber daya. “Sekarang ada KPK, Kejaksaan, Polri dalam usut korupsi. Untuk KPK punya kewenangan luar biasa, orang katakan superbody. Dia tidak tersandera oleh rezim perizinan apapun,” katanya.

Sementara Kejaksaan dan Polri, lanjut Prasetyo, mempunyai sejumlah keterbatasan di antaranya tersandera berbagai perizinan dalam mengusut rasuah. Misalnya, untuk melakukan penggeledahan dan penyadapan harus mendapat izin dari pengadilan setempat.

“Sementara kita [Kejaksaan] tersandera rezim perizinan. Kita harus minta izin kalau mau periksa orang, geledah juga. Tapi kami punya kelebihan, punya aparatur yang banyak sehingga bisa dimaksimalkan untuk pemberantasan korupsi,” katanya.

Karena itu, Prasetyo mengharapkan adanya satu kolaborasi antara Kejaksaan, Polri, dan KPK untuk melengkapi beberapa keterbatasan kewenangan sehingga hasil penindakan kasus korupsi lebih maksimal.

“Kita tampil bersama dalam tangani satu perkara sehingga hasilnya semakin maksimal jika dilakukan bersama-sama,” ujar Prasetyo didampingi seluruh jaksa agung muda termasuk Kepala Badiklat Kejagung.