Medan – Tamin Sukardi seakan-akan menghalalkan segala cara agar lolos dari jerat hukum. Setelah melakukan korupsi Rp 132 miliar, ia nekat menyuap hakim. Aksinya terendus KPK dan dibekuk. Begini kronologi kasus yang dilakukan pria kelahiran 24 Februari 1944 itu.
Berdasarkan catatan detikcom, Jumat (10/5/2019), berikut ini jejak kasus Tamin:
24 November 1997
BPN mengeluarkan HGU di atas tanah PT Perkebunan Nusantara II seluas 1.332 hektare di Desa Helvita, Labuhan Deli, Deli Serdang, Sumatera Utara.
24 November 2002
BPN mengeluarkan sebagian HGU di atas tanah itu akan dijadikan Zona B (pemerintahan, industri, pariwisata, pendidikan, dkk). Menteri BUMN kemudian melepaskan sebagian tanah tersebut untuk pembangunan kampus.
2002
Tamin mendengar pelepasan HGU tersebut. Tamin kemudian melakukan patgulipat sedemikian rupa. Ia menyuruh orang untuk mengaku-aku sebagai ahli waris sehingga bisa mendapatkan pelepasan HGU tersebut. Rekayasa itu digugat perdata hingga ke Mahkamah Agung (MA) dan dimenangi Tamin.
2007
Tamin kemudian terus melakukan patgulipat untuk menguasai tanah itu. Salah satunya mengkoordinasi 60-an orang untuk mengaku-aku sebagai warga setempat. Total, ia menguasai 193.9400 hektare.
30 Januari 2018
Laporan akuntan publik menilai terjadi kerugian negara Rp 132 miliar di kasus penjualan tanah negara bekas HGU PTPB II Tanjung Morawa di Pasar IV Desa Helvetia, Labuhan Deli, Deli Serdang, Sumut.
10 April 2018
Tamin duduk di kursi pesakitan. Jaksa mendakwa Tamin melakukan tindak pidana korupsi.
6 Agustus 2018
Jaksa menuntut Tamin selama 10 tahun penjara.
27 Agustus 2018
Pengadilan Tipikor Medan menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara kepada Tamin.
28 Agustus 2018
KPK mencium vonis itu beraroma suap. KPK segera menangkap Tamim, hakim Merry, panitera pengganti PN Medan, Helpandi. Alhasil, Tamim kembali berurusan dengan hukum. Merry dan Helpandi juga menyusul menginap di tahanan KPK.
15 November 2018
Pengadilan Tinggi (PT) Medan memperberat hukuman Tamim menjadi 8 tahun penjara.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 tahun dan denda sejumlah Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” demikian putusan majelis banding.
Duduk sebagai ketua majelis Dasniel dengan anggota Albertina Ho dan Mangasa Manurung.
“Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 132,468 miliar paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan ini berkekuatan hukum tetap. Jika tidak membayar maka harta bendanya disita dan dilelang oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut dengan ketentuan apabila Terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka dipidana dengan pidana penjara selama 2 tahun,” ujar majelis.
26 Februari 2019
Tamin mengajukan kasasi untuk kasus korupsi Rp 132 miliar.
4 April 2019
Tamin dihukum 6 tahun penjara di kasus penyuapan hakim.
Panitera pengganti PN Medan, Helpandi, dihukum 7 tahun penjara.
Anak buah Tamin, Hadi Setiawan, dihukum 4 tahun penjara. Hadi berperan mengantarkan uang kepada Merry lewat Helpandi.
25 April 2019
Hakim Merry Purba dituntut 9 tahun penjara.
6 Mei 2019
Hakim Merry mengajukan pleidoi dan meminta majelis hakim membebaskannya dari tuntutan jaksa. Sebab, dia tidak pernah menerima uang apa pun, termasuk dalam perkara suap yang terjadi di tempat dia berdinas di PN Medan.
“Oleh karenanya, saya memohon majelis hakim memutuskan bebaskan dari segala dakwaan dan tuntutan jaksa serta memulihkan harkat dan martabat saya sebagai hakim,” kata Merry Purba.
Menurut Merry, panitera pengganti Helpandi telah merekayasa perkara kasus suap. Sebab, Helpandi tidak bisa membuktikan orang yang berada di dalam mobil di Jalan Adam Malik, Medan.
“Mobil saya dipinjam keluarga suami untuk menghadiri wisuda anaknya. Dan saya tidak pernah meminta atau menyuruh orang menerima uang di Jalan Adam Malik,” jelas Merry.
Sumber : detik.com