Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa mantan Kepala BP Migas, Raden Priyono korupsi USD 2,7 miliar atau setara Rp 37,8 triliun (kurs Rp 14 ribu) di kasus kondensat TPPI. Raden tidak menerima tuduhan itu karena ia menjalankan kebijakan negara atas perintah Jusuf Kalla yang saat itu menjadi Wapres, dan tidak makan uang sepeser pun dari kebijakan itu.
“Kasus kondensat BP Migas – TPPI berawal dari adanya Rapat di Istana Wapres pada tanggal 21 Mei 2008, dengan agenda Pengembangan Pusat Industri Petrokimia Tuban, dengan tujuan adalah khusus tentang pemanfaatan kapasitas produksi dan optimalisasi peran TPPI dalam penyediaan suplai BBM untuk kawasan Jawa Timur,” kata kuasa hukum Raden Priyono, Tumpal H Hutabarat, kepada wartawan, Rabu (26/2/2020).
Rapat yang dipimpin oleh Wapres Jusuf Kalla tersebut dihadiri antara lain oleh Menteri ESDM Dirjen Anggaran, Dirjen Kekayaan Negara mewakili Menteri Keuangan RI, Dirut Pertamina dan Kepala BPH Migas (bukan BP MIGAS). Tujuan dilaksanakannya rapat tersebut membahas tentang permasalahan mengenai sektor migas, khususnya industri Hilir Migas.
“Latar belakang dilaksanakannya rapat yang dipimpin Wapres Bapak Jusuf Kalla tersebut adalah, PT TPPI suatu perusahaan yang bergerak di bidang migas yang sahamnya mayoritas dikuasai oleh Pertamina dan Pemerintah RI (60 persen), pada saat itu TPPI berhenti berproduksi karena harga outputnya lebih rendah dari harga inputnya,” ujar Tumpal.
Tumpal juga mengkritisi dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejagung. Jaksa menyebut akibat kebijakan itu mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar USD 2.716.859.655. Namun di sisi lain jaksa juga menyatakan PT TPPI telah menyetorkan kepada negara c/q BP Migas melalui rekening Kementerian Keuangan di Bank Indonesia Nomor 600.000.411 sebesar USD 2.588.285.650.
“Dengan adanya setoran TPPI ke negara tersebut membuktikan Penuntut Umum telah salah dalam melakukan perhitungan potensi kerugian negara dalam surat dakwaannya. Dakwaannya yang demikan dikualifikasi sebagai dakwaan yang tidak cermat, tidak lengkap dan tidak jelas,” cetus Tumpal.
Sedangkan kekurangan pembayaran sebesar sebesar USD 128.574.004, bukan merupakan kerugian negara. Melainkan piutang negara c/q. BP Migas terhadap PT TPPI. Piutang tersebut merupakan hubungan keperdataan.
“Di samping hal-hal tersebut di atas, dalam penunjukan PT TPPI sebagi penjual kondensat bagian negara tersebut Ir Raden Priyono dan Djoko Harsono sepeser pun tidak memperoleh keuntungan. Tindakan Ir Raden Priyono melakukan penunjukan PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tersebut semata-mata hanyalah melaksanaan kebijakan pemerintah serta melakukan kewajiban hukumnya selaku Kepala BP Migas,” pungkas Tumpal.
Sebagaimana diketahui, Kejaksaan Agung mendakwa Raden Priyono merugikan negara sebesar USD 2.716.859.655 (atau setara Rp 37,8 triliun) dalam kasus penjualan minyak mentah/kondensat. Perbuatan Raden disebut memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Perbuatan Raden dilakukan bersama-sama dengan Djoko Harsono selaku Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas. Djoko juga didakwa dalam sidang ini bersama Raden.
Jaksa menyebut orang lain yang diuntungkan Raden dan Djoko, yaitu Honggo Wendratno selaku Direktur Utama PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI). Raden dan Djoko mengabaikan seluruh persyaratan dan menunjuk PT TPPI yang bergerak dalam bidang pengolahan bahan baku kondensat menjadi petrokimia berlokasi di Desa Tanjung Awar-Awar, Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur.
Jauh sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pada 12 Juni 2015 menilai kesalahan ada pada PT TPPI yang tidak melunasi utang.
“Yang salah adalah kewajiban TPPI tidak dilunasi. Bukan prosesnya. Jadi ini bisa kalau dibayar segera ya bisa selesai, berarti tidak perlu dipidana. Kan utang piutang ini kan,” ujar JK di kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Honggo saat ini buron dan berada di Singapura.
sumber: detik.com