Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, Kombes Arief Adiharsa, diusulkan sebagai kandidat penerima Hoegeng Awards 2024 kategori Polisi Berintegritas. Arief dinilai sebagai penyidik tindak pidana korupsi yang anticawe-cawe dalam penanganan perkara. Kesehariannya pun sederhana.

Usulan tersebut disampaikan pembaca detikcom, Yudha Marhaena, lewat formulir online di tautan ini. Berikut kesaksian Yudha tentang sosok Kombes Arief, Selasa (13/2/2024):

Saya kenal dari 2015, sejak AKBP. Saya wartawan, beliau penyidik. Saya tahu dia juga penyidik KPK jilid I bersama kawan-kawannya, Mas Wiyagus, almarhum Erwanto Kurniadi di awal-awal KPK berdiri. Sosok Mas Arief dikenal sederhana dan nggak cawe-cawe kasus, apalagi dia penyidik tipikor.

Cerita soal integritas Kombes Arief juga disampaikan Paur Subbag Renmin Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, AKP Lia Kamaliyah. Lia menyebut Kombes Arief sebagai pribadi yang lurus dan tulus.

Lia mengatakan, sepanjang yang dia ketahui, Kombes Arief menolak bertemu pihak-pihak yang berperkara. Lia juga menuturkan Kombes Arief tak pernah menutup-nutupi orang yang terindikasi melakukan korupsi berdasarkan hasil penyelidikan atau penyidikan timnya.

“Beliau itu lurus dan tulus. Kerjaannya ya kerja saja, tidak ada ketemu dengan siapa, misalnya dengan pihak swasta, beliau enggak. Beliau tidak pernah menutupi kalau misalnya ada kasus, yang melibatkan orang-orang tinggi, kalau orang itu terbukti salah, ya beliau akan bilang salah. Tidak pernah ada bargaining di belakang misalnya untuk meringankan posisi orang yang salah,” ungkap Lia.

Lia menyebut selama dirinya berkantor di Direktorat Tipikor Bareskrim Polri, Kombes Arief tak pernah menemui orang-orang yang memiliki masalah hukum di bidang korupsi. Tamu-tamu Kombes Arief, lanjut Lia, biasanya rekan dari instansi pemerintahan lainnya atau teman seangkatan saat di Akademi Kepolisian (Akpol) hanya untuk silaturahmi.

“Nggak pernah ada yang namanya mereka yang berperkara ujug-ujug ke kantor, itu nggak pernah ada. Kalau ada tamu pun berseragam misalnya teman dari instansi lain, atau teman letting, itu pun juga kita (anggota-red) suka diikutkan,” ujar Lia.

“Misalnya kita lagi lapor pekerjaan saat ada temannya beliau, kita sungkan karena pimpinan ada tamu. Tapi beliau, “Nggak apa-apa di sini aja, kita ngobrol di sini aja. Ini juga cuma ngobrol-ngobrol santai’. Pak Wadir itu membuat tagline unstoppable integrity, integritas yang tidak pernah ada habisnya,” imbuh Lia.

Di sisi lain, Kombes Arief juga melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) secara periodik. Kombes Arief tercatat melaporkan hartanya senilai Rp 145.000.000 pada 29 Januari 2007 sewaktu bertugas di Deputi Penindakan KPK.

Pada 31 Desember 2017, Kombes Arief kembali melaporkan hartanya senilai Rp 3.755.000.000. Saat itu Kombes Arief menjabat sebagai Kasubdit 1 Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bareskrim Polri.

Selanjutnya Kombes Arief melaporkan hartanya senilai Rp 3.956.000.000 pada 31 Desember 2020. Kombes Arief saat itu menjabat sebagai Kasubdit 5 Tipikor Bareskrim Polri.

Tolak Dijamu saat Kunjungan ke Wilayah

Lia menilai Kombes Arief Adiharsa selalu merasa cukup dengan fasilitas yang diberikan institusi padanya, sesuai pangkat dan jabatannya. Sepanjang mengenal Kombes Arief, terang Lia, perwira menengah dengan melati tiga di pundaknya tersebut tidak pernah minta dilayani atau diberikan fasilitas yang melebihi pangkat dan jabatannya.

“Beliau juga kalau ke wilayah nggak pernah minta dilayani, minta disanguin, minta disiapkan apa-apa, itu nggak pernah. Semua beliau siapkan sendiri semuanya. Misalnya ada permohonan pendampingan kasus berat di wilayah, akomodasinya dari pesawat, kendaraan dan hotel beliau siapkan sendiri, makan sendiri,” kata Lia.

Menurut Lia, Kombes Arief telah mengajarkan pada dirinya dan rekan-rekannya tentang pemakaian anggaran yang harus sesuai aturan dan ketentuan. Lia kemudian menambahkan, Kombes Arief juga mengajarkan anggotanya di Mabes Polri untuk tak merepotkan penyidik di tingkat wilayah saat melakukan kunjungan kerja.

“Fasilitas dinas yang ada yang di anggaran yang dipakai, nggak yang minta macam-macam atau disanguin oleh wilayah. Kita juga diajarkan nggak boleh gitu, kita pakai anggaran yang ada sesuai aturan. Padahal wilayah pasti nawarin fasilitas, karena kan ibaratnya mereka sudah dibantu penanganan kasus atau supervisi, apalagi kalau kasusnya viral dan harus segera dituntaskan. Nah beliau tidak pernah mau membebankan wilayah untuk kebutuhan pribadi beliau,” sambung Lia.

Hidup Sederhana dan Jaga Integritas

Masih kata Lia, kesederhanaan Kombes Arief terlihat dari penampilan. “Beliau sederhana banget, nggak pernah pakai yang barang-barang merek mewah,” kata Lia.

Lia menceritakan, Kombes Arief juga membeli kemeja kerja di pusat perbelanjaan grosir. Lia mengatakan tak ada aksesoris, jam tangan maupun sepatu mewah yang dikenakan Kombes Arief.

“Kemejanya ya cuma (merek) Alisan itulah. Setiap ngantor ya kemeja yang putih Alisan itu, belinya di Thamcit. Sepatunya Skechers, mungkin yang nyaman di dia saja dan harga nggak terlalu mahal. Jadi nggak ada pakai jam tangan, tas yang mewah. Barang-barangnya merek biasa-biasa. Kalau ada acara, untuk makan pun sesuai anggaran, nasi kotak (rumah makan-red) Dapur Cikajang yang Rp 35 ribuan,” pungkas Lia.

Pada kesempatan terpisah, Kombes Arief kepada detikcom bicara mengenai alasannya bersikap sederhana dan menjaga integritas. Alumnus Akademi Kepolisian (Akpol) 1996 ini mengatakan membeli barang sesuai fungsi dan ‘kemampuan’ dompet saja.

“Kalau saya lebih enak praktisnya aja, lagipula kalau beli barang-barang yang mahal itu kan uangnya dari mana. Mampunya apa, itu yang dipakai. Tidak juga menurunkan kuaitas kerja kita. Lebih ke fungsinya, etika kesopanan. Nggak nyaman juga kalau harganya mahal, kita nggak sanggup beli, fungsinya sebenarnya sama juga,” ucap Kombes Arief melalui sambungan telepon.

Soal integritas, menurutnya dimulai dari keselarasan antara pikiran dengan kaidah atau norma yang berlaku. Keselarasan itu kemudian akan membentuk pola pikir atau mindset.

“Baik norma agama, hukum, norma di masyarakat. Kalau pemikirannya sudah hedon, pragmatis, keliru, misalnya kalau mau isi LHKPN pemikirannya sudah stres, sudah mikirnya ‘Gimana ya caranya nyembunyiin?’, susah kalau sudah begitu mindsetnya. Jadi pikiran kita sendiri juga harus adil,” ungkap dia.

 

sumber: detik.com